Adat Ciptagelar

Explore Kampung Adat Ciptagelar Sukabumi: Tradisi Leluhur dan Kehidupan Mandiri

Wisata

Tersembunyi di lereng Gunung Halimun Salak, Sukabumi, terdapat sebuah desa adat yang sampai kini teguh menjaga warisan leluhur. Kampung Adat Ciptagelar bukan sekadar perkampungan, tapi cermin kearifan Sunda yang hidup berdampingan dengan alam. Warga Ciptagelar masih memegang filosofi hidup, menghormati padi sebagai sumber kehidupan, dan membuktikan bahwa tradisi lama bukan penghambat kemajuan. Di tengah gemuruh teknologi, Ciptagelar menonjol dengan cara unik, yakni memadukan budaya, inovasi, dan pelestarian alam dalam satu denyut kehidupan.

Sejarah dan Nilai Tradisi Leluhur Ciptagelar

Ciptagelar berdiri sejak 1368 dan terus bertahan sebagai pusat tradisi Sunda. Komunitas ini dibangun oleh keturunan prajurit Kerajaan Sunda yang memilih membangun kehidupan menyatu dengan hutan. Filosofi hidup mereka, Sunda Wiwitan, menempatkan alam sebagai pilar utama. Kegiatan sehari-hari, mulai dari bercocok tanam sampai ritual adat, selalu bersandar pada nilai-nilai kebersamaan dan rasa syukur.

Salah satu pilar adat di Ciptagelar adalah padi. Setiap butir padi dianggap sakral, hadiah dari Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan sumber kehidupan. Sistem leuit (lumbung padi) menjadi ikon tata kelola pangan di Ciptagelar. Hasil panen disimpan kolektif, cukup untuk bertahan puluhan tahun, dan dikelola dengan prinsip tidak boleh dijual.

Upacara tahunan, termasuk Seren Taun, merupakan momen puncak tradisi. Ribuan orang berkumpul, menyaksikan prosesi syukur panen, serta penyerahan hasil padi ke Leuit Si Jimat—lumbung keramat yang dipercaya memberi perlindungan. Semua berlangsung di bawah kepemimpinan adat Abah Ugi, pewaris ke-10 yang konsisten menjaga tatanan leluhur.

Asal Usul dan Struktur Sosial Ciptagelar

Ciptagelar tidak sekadar kampung yang tua, melainkan komunitas dengan struktur sosial rapi. Berdiri sejak 1368, setiap keluarga tergabung dalam jaringan 568 kampung kecil. Imah Gede, rumah pusat adat, berfungsi sebagai titik pertemuan dan pengambilan keputusan penting.

Struktur sosial Ciptagelar:

  • Abah Ugi: Pemimpin spiritual dan adat
  • Rorokan: Pembantu utama di bidang pertanian, ritual, dan keamanan
  • Warga: Terlibat aktif dalam musyawarah dan gotong royong

Kepemimpinan dipegang secara turun-temurun, memastikan tatanan adat selalu terjaga. Setiap aturan didiskusikan bersama, tidak ada dominasi perorangan.

Rangkaian Upacara Adat: Dari Ngaseuk Sampai Seren Taun

Hidup masyarakat Ciptagelar berpadu erat dengan siklus padi. Mulai dari menanam (Ngaseuk), memetik (Mipit), merayakan panen baru (Nganyaran), hingga penyimpanan simbolik (Ponggokan), berujung pada upacara besar Seren Taun.

Ritual penting:

  • Ngaseuk: Awal menanam padi, menandai permulaan siklus hidup baru
  • Mipit: Proses memetik padi yang telah matang
  • Nganyaran: Pesta kecil dalam keluarga saat menikmati hasil panen pertama
  • Ponggokan: Persiapan padi sebelum disimpan
  • Seren Taun: Upacara puncak. Warga menyerahkan hasil panen ke leuit, syukur kepada leluhur dan alam

Setiap tahap memiliki makna sosial, spiritual, dan mempererat solidaritas masyarakat. Tidak sekadar ritual, tapi pondasi identitas mereka sebagai komunitas agraris.

Falsafah Lumbung Padi dan Larangan Menjual Beras

Leuit, atau lumbung padi, bukan hanya tempat penyimpanan fisik. Ia simbol penghormatan padi, jaminan kemandirian, dan solidaritas warga. Setiap kepala keluarga menyumbang sebagian hasil panen ke leuit kolektif, menciptakan cadangan pangan yang bisa bertahan hingga 30 tahun.

Tradisi unik lain adalah larangan menjual beras. Hal ini ditekankan sebagai bentuk penghormatan pada padi sebagai manifestasi dewi kehidupan. Berbagi lebih utama daripada menjual, menjadikan Ciptagelar jarang kekurangan pangan bahkan di masa paceklik.

Kehidupan Mandiri dan Inovasi Ramah Lingkungan

Keseharian warga Ciptagelar sarat nilai mandiri. Mereka memenuhi kebutuhan tanpa banyak bergantung pada pihak luar. Mulai dari pangan, energi, hingga penyebaran informasi, semua dikelola secara kolektif dalam koridor adat.

Selain pertanian organik, Ciptagelar mengadopsi teknologi ramah lingkungan yang tidak bertentangan dengan tradisi. Di sinilah harmoni antara masa lalu dan masa kini terlihat nyata.

Kemandirian Energi dan Teknologi Hijau

Mengalirnya sungai di sekitar Ciptagelar membawa lebih dari sekadar kehidupan. Turbin mikrohidro kecil mengubah energi air menjadi listrik yang menerangi 80% rumah warga. Sistem ini menopang kebutuhan sehari-hari tanpa menggantungkan pada jaringan PLN negara.

Teknologi diterapkan selektif:

  • Gadget: Hanya dipakai untuk kebutuhan penting, dengan izin adat
  • Media lokal: Radio Swara Ciptagelar dan CIGA TV jadi sarana warga mempromosikan budaya dan memantau kegiatan kampung
  • Elektronik lainnya: Penggunaan dibatasi untuk mencegah konsumsi berlebihan dan menjaga keharmonisan dengan alam

Pengelolaan Lahan, Padi, dan Kesejahteraan Kolektif

Tanah di Ciptagelar diatur sebagai tanah adat, tidak boleh diperjualbelikan. Pertanian mereka murni organik—tanpa pupuk kimia, tanpa pestisida. Hasil panen disimpan di ratusan leuit yang tersebar di seluruh kampung dan dialokasikan bersama.

Strategi ketahanan pangan:

  • Penyimpanan hasil panen hingga 80 ton per leuit
  • Stok cukup untuk 5 tahun bahkan saat terjadi gagal panen
  • Kolektif lebih penting daripada kepemilikan pribadi

Pendekatan ini menyatukan masyarakat dalam kesejahteraan bersama dan menumbuhkan rasa aman lintas generasi.

Pelestarian Alam dan Harmoni dengan Lingkungan

Ciptagelar jadi contoh nyata harmony antara budaya dan konservasi alam. Sebagian besar tanah tetap berupa hutan lindung, hanya sebagian kecil yang digarap sebagai ladang.

Nilai pelestarian:

  • Hutan dijaga sebagai penyangga air dan ruang hidup satwa
  • Larangan menebang pohon sembarangan tanpa izin adat
  • Sumber mata air dikelola bersama dan dijaga keberlanjutannya

Pemeliharaan hutan Gunung Halimun Salak ini bukan sekadar adat, tapi bekal masa depan Ciptagelar agar selalu lestari.

Kesimpulan

Kampung Adat Ciptagelar membuktikan tradisi bukan penghalang inovasi, justru membawa jalan hidup yang membumi. Mereka menciptakan harmoni antara budaya, teknologi hijau, dan konservasi alam tanpa kehilangan jati diri. Ciptagelar menjadi model inspiratif: adaptasi pada zaman boleh, tetapi akar budaya tetap dijaga kokoh.

Menghargai warisan lokal dan kearifan tradisional seperti di Ciptagelar adalah kunci untuk keberlanjutan budaya dan lingkungan. Di era perubahan cepat ini, Ciptagelar menjadi pelajaran penting: masa depan yang lestari tumbuh dari masa lalu yang dijaga dengan sepenuh hati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *